Powered By Blogger

Minggu, 23 Agustus 2020

Reportase Turnamen Sparta Merah Putih Cup, 23 Agustus 2020

 "True freedom is not the liberty to do anything we please, but the liberty to do what we ought; and it is genuine liberty because doing what we ought now pleases us".

D. A. Carson

Selama ini kita mendambakan kebebasan, mengagung-agungkan kebebasan, dan mendewakan kata “bebas”. Begitupula berbagai instrumen hukum bernama Hak Asasi Manusia lengkap dengan berbagai konvensi hukum internasional yang mengusung tema “kebebasan absolut”. Namun, yang menjadi masalah, apa yang menjadi definisi kita tentang “kebebasan” itu sendiri? Menyatukan persepsi adalah hal yang terpenting, agar “kebebasan” tidak menjelma “ketidak-mampuan untuk mengendalikan diri sendiri”, atau bahkan “kebebasan yang merenggut kebebasan individu pribadi lainnya”.

Antara bebas “sebebas-bebasnya”, dan terpenjara “seketat-ketatnya”, meski tampak berbeda dan saling bertolak-belakang, namun ternyata memiliki satu kesamaan, yakni sama-sama bersifat ekstrim pada masing-masing sudut kubunya sendiri. Pribadi yang mengagungkan kebebasan tanpa terkontrol, cenderung menjadi “budak” dari nafsu ego-nya sendiri, alias terpenjara oleh kebodohan batinnya sendiri. Seseorang yang hidup bebas, cenderung tidak disiplin, tidak terkontrol, tidak mengindahkan hukum, bahkan juga tidak perduli terhadap norma sosial—karena tidak lagi memiliki rasa takut maupun rasa malu untuk melanggar.

Kita bebas memilih, namun disaat bersamaan kita terjebak dan terpenjara oleh obsesi kita untuk bebas memilih. Mungkin itulah yang sering diistilahkan sebagai nilai “antinomi”—suatu wujud yang sejatinya berwajah ganda, bagaikan dua sisi yang saling bertolak-belakang pada satu koin logam yang sama.

Ilmu filsafat menyebutkan: Ada siang, maka ada malam. Ada yang ada, maka ada yang tiada. Maka, tiada yang istimewa dari suatu “eksistensi di dunia ini”, semata sebagai konsekuensi logis dari yang “tiada eksis di dunia ini”. Karena ada yang buruk, maka ada yang disebut sebagai cantik. Mereka yang cantik, harus berterimakasih dan berhutang budi pada mereka yang buruk rupa sehingga yang cantik dapat eksis.

Ilustrasi sederhana lewat pengungkapan kisah, tampaknya dapat memudahkan pemahaman kita, untuk itu penulis mengutip kisah dari seorang Bhikkhu bernama Ajahn Brahm, dalam bukunya Opening the Door of Your Heart (Judul versi Bahasa Indonesia: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya), Penerjemah : Chuang, Awareness Publication, 2009, Jakarta, dengan kutipan inspiratifnya sebagai berikut:

DUA JENIS KEBEBASAN

“Ada dua jenis kebebasan yang dapat kita temukan di dalam dunia kita: kebebasan untuk berkeinginan (freedom of desires) dan kebebasan dari berkeinginan (freedom from desires).

“Kebudayaan modern Barat kita hanya mengenal jenis yang pertama saja, kebebasan untuk berkeinginan. Kita memujanya sebagai sebuah kebebasan dengan mengabadikannya di pembukaan undang-undang nasional dan piagam hak-hak asasi manusia.

“Dapat dikatakan bahwa paham yang mendasari kebanyakan sistem demokrasi Barat adalah untuk melindungi kebebasan rakyat untuk mewujudkan hasratnya, sejauh mungkin. Anehnya, di negeri-negeri seperti itu, orang-orangnya tidak merasa benar-benar bebas.

“Kebebasan jenis kedua, kebebasan dari berkeinginan, hanya dikenal dalam beberapa komunitas religius. Mereka menjunjung rasa keberkecukupan, kedamaian yang bebas dari berkeinginan. Anehnya, dalam komunitas yang penuh aturan disiplin seperti di Wihara saya, orang-orangnya justru merasa benar-benar bebas.

DUNIA BEBAS

“Selama beberapa minggu , seorang rekan biksu mengajar meditasi di sebuah penjara baru dengan tingkat pengamanan yang sangat ketat di dekat Perth. Sekelompok kecil narapidana telah mengenal baik dan menghormati sang biksu. Pada akhir sebuah sesi, mereka mulai bertanya mengenai rutinitas keseharian sang biksu di Wihara.

“’Kami harus bangun pada pukul 4 pagi setiap hari,’ katanya. ‘Kadang-kadang terasa sangat dingin karena kamar kami yang kecil tidak memiliki penghangat ruangan. Kami hanya makan sekali sehari, semuanya dicampur-aduk dalam satu mangkuk. Selewat tengah hari dan pada malam hari, kami tidak makan apa pun. Dan tentu saja, tidak boleh berhubungan seksuil atau minum minuman beralkohol. Kami tidak punya televisi, radio, ataupun alat musik. Kami tidak pernah nonton film, juga tidak berolahraga untuk kesenangan. Kami berbicara sedikit, bekerja keras, dan melewatkan waktu luang dengan duduk bersila mengamati napas. Kami tidur di atas lantai.’

“Para napi tertegun mengetahui minimnya kehidupan membiara kami. Kalau diperbandingkan, itu membuat penjara mereka seperti sebuah hotel bintang lima. Bahkan, seorang napi begitu tergerak simpatinya atas merananya si biksu sahabatnya ini, sampai dia lupa di mana dia berada dan berkata, ‘Ngeri amat tinggal di Wihara-mu. Kenapa kamu tidak pindah ke sini dan tinggal bersama kami saja?’

“Si biksu bercerita kepada saya, bahwa semua orang di ruangan itu tertawa terbahak-bahak. Begitu pula saya ketika dia menceritakan kejadian itu. Lalu saya mulai merenunginya dengan mendalam.

“Memang benar Wihara saya jauh lebih sederhana daripada penjara terketat untuk para terpidana, namun banyak yang datang dengan kemauan sendiri, dan bahagia di sini. Sementara, begitu banyak orang yang mencoba kabur dari penjara yang lebih nyaman, dan tidak bahagia di sana. Mengapa?

“Itu karena, di Wihara saya, penghuninya ingin berada di sana. Di penjara, penghuninya tidak ingin berada di sana, itulah bedanya.

“Saat Anda tidak ingin berada di suatu tempat, di mana pun itu, senyaman apa pun, itu adalah sebuah penjara bagi Anda. Inilah arti sesungguhnya dari kata ‘penjara’—situasi apa pun di mana Anda tidak ingin berada. Jika Anda ada dalam pekerjaan yang tidak Anda inginkan, berarti Anda berada dalam penjara. Jika Anda ada dalam sebuah hubungan yang tidak Anda inginkan, Anda berada dalam penjara. Jika Anda sedang sakit dan terperangkap di dalam tubuh menyakitkan yang tidak Anda inginkan, itu pun penjara buat Anda. Penjara adalah situasi apa pun di mana Anda tidak ingin berada di dalamnya.

“Lantas, bagaimana caranya untuk dapat bebas dari berbagai penjara kehidupan? Gampang. Ubah saja persepsi Anda tentang situasi sekarang menjadi ‘ingin berada di sana’. Walaupun berada si San Quentin (Redaksi: nama penjara tempat hukuman mati di California), atau yang sedikit lebih lumayan—Wihara saya, kalau Anda ingin berada di sana, maka itu tidak lagi menjadi penjara bagi Anda. Dengan mengubah persepsi Anda terhadap pekerjaan, relasi, tubuh yang sakit, dan dengan menerima situasinya alih-alih menolaknya, maka itu tidak lagi terasa seperti sebuah penjara. Saat Anda menerima untuk berada di sana, Anda telah bebas.

“Kebebasan adalah merasa puas di mana pun Anda berada. Penjara berarti menginginkan berada di tempat lain. Dunia bebas adalah dunia yang dialami orang seseorang yang puas. Kebebasan sejati adalah kebebasan dari berkeinginan, bukannya kebebasan untuk berkeinginan.

Tersandera oleh keinginan, terpenjara oleh ketidak-puasan, tersiksa oleh obsesi yang tiada habisnya, terbudaki oleh ambisi yang egoistik, semua itu merupakan manifes dari impian untuk hidup bebas tanpa kendali diri. Kebebasan bukan selalu bermakna tidak mencengkeram atau tiada menggenggam sesuatu, namun bisa jadi kebebasan dalam wujud konkretnya dijewantahkan lewat suatu sikap yang mencengkeram erat suatu hasrat yang tidak terbendung bahkan oleh dirinya sendiri. Ironisnya, tersandera atau tidak bebas, juga memiliki makna yang sama persis dengan makna kebebasan—itulah polemik ambigunya.

Ketika kita mendapati seseorang menyerukan slogan perihal “kebebasan”, maka perlu kita klarifikasi terlebih dahulu kepada yang bersangkutan, bahwa kebebasan yang dikehendakinya ialah “bebas dari apakah”? Sudah saatnya kita memaknai frasa “bebas” sebagai “kesediaan untuk menerima kondisi secara apa adanya”.

Menyemai kata “bebas”, sama artinya kita harus mau terikat oleh sebentuk komitmen dan tanggung jawab, tidak bisa tidak. Untuk bisa terbebas, kita harus mau terikat oleh berbagai disiplin diri. Hidup bebas tanpa diimbangi sebentuk pola hidup bertanggung jawab, sejatinya tengah melemahkan kebebasan hidup dirinya sendiri. kita bebas untuk menggenggam objek yang kita pilih, namun kita tetap hanya sebatas memiliki dua tangan untuk memegang benda di waktu yang bersamaan.

Kembali ke reportase. Dalam rangka memperingati HUT kemerdekaan RI,  digelar Turnamen Sparta Merah Putih Cup 2020 yang diikuti oleh 25 orang Spartan. Sebenarnya yang daftar ada 26 orang, tapi secara sepihak dan mendadak Pak Achmad membatalkan keikutsertaannya, padahal drawing sudah selesai dan turnamen sudah dimulai. Sebagai konsekuensinya; next time, khusus buat yang pernah membatalkan keikutsertaannya setelah proses drawing selesai, seperti Pak Achmad; Maka untuk turnamen-turnamen selanjutnya WAJIB hadir sebelum proses drawing. Jika tidak hadir, maka konfirmasinya diabaikan

Begitu juga, buat yang ada masalah dengan keluarga, teman atau pasangannya: jangan dibawa-bawa ke GOR. Apalagi orang ketiga tersebut sangat menghambat jalannya turnamen. Karena banyak waktu terbuang dalam pelaksanaan turnamen, dan dengan walkover sangat mengacaukan hasil turnamen, yang tentu saja merugikan partnernya dan teman-teman di Sparta. Membingungkan pula buat penghitungan poin.

Seperti perkiraan admin, terjadi partai final ideal dengan mempertemuan antara Abraham dan Selmi VS Christian dan Anton. Turnamen kali ini peraih medali didominasi oleh wajah-wajah baru, seperti; Selmi, Christian, Deris, dan Adi Putra (yang baru comeback).


Flyer turnamen Sparta Merah Putih Cup 2020

Medali Sparta Merah Putih Cup 2020

Boneka souvenir Sparta Merah Putih Cup 2020

Pin merchandise Sparta

Penampilan Abraham dan Selmi tak terbendung oleh lawan-lawannya mulai babak penyisihan hingga partai puncak. Mereka tampil apik tanpa kehilangan satu kemenangan pun.

Inilah nama-nama juara Turnamen Sparta Merah Putih Cup 2020;

Juara 1 Abraham dan Selmi

Juara 2 Christian dan Anton

Juara 3 Andre dan Rama / Deris dan Adi Putra

Juara 1 Abraham dan Selmi

Juara 2 Christian dan Anton

Juara 3 Rama dan Andre

Juara 3 Adi Putra dan Deris


Turnamen Sparta Merah Putih Cup 2020 adalah salah satu turnamen internal spesial di Sparta, jadi poin yang diperebutkan pun sedikit berbeda dengan turnamen mingguan. Dimana kali ini mengacu pada poin SSP (super series preimer). Dengan rincian sebagai berikut;  

Juara 1 = 11.000 poin

Runner Up = 9.350 poin

Semifinalis  = 7.700 poin

Quarter final = 6.050 poin

Round 1 = 4.320 poin


Inilah result selengkapnya Turnamen Sparta Merah Putih Cup 2020;

Road to final

Bagan turnamen

Update ranking Sparta

Akumulasi perolehan medali Sparta

Sekian reportase kita kali ini.Sampai jumpa lagi di reportase-reportase berikutnya. Salam olahraga!!!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar