“Look outside and you will see yourself. Look inside and you will find yourself.”
Drew Gerald
Pada Jum'at Pagi hari, Empat orang santri sedang belajar adab-adab sholat jum'at, dan mereka mengetahui kalau sedang mendengarkan khutbah maka mereka harus diam tidak boleh bicara, lalu siangnya mereka masuk masjid untuk sholat Jum'at, yang sebelumnya tentu harus mendengarkan khutbah, pada saat awal khotib berkhutbah semuanya diam, berlangsung dengan khusyuk. Namun, tidak beberapa lama setelah itu, ada salah satu jamaah sibuk memainkan HP nya, dan ketika Hp orang itu berbunyi karena ada yang menelpon, seorang jamaah dari 4 orang itu tidak bisa menahan diri dan berseru kepada orang itu; ”Tolong matikan Hp itu!”
Santri kedua heran mendengar suara temannya. ”Kita tidak boleh berbicara,” komentarnya. Melihat hal ini Santri ketiga merasa jengkel, ”Kalian bodoh. Mengapa berbicara?” ia bertanya. ”Sayalah satu-satunya orang dari kalian berempat yang tidak berbicara,” Santri keempat menyimpulkan.
Apakah yang menarik dari cerita di atas? Ternyata melihat ke luar itu jauh lebih mudah dibandingkan dengan melihat ke dalam. Ini tentu saja tidak mengherankan, melihat ke luar hanya membutuhkan mata lahir, sedangkan melihat ke dalam membutuhkan mata batin. Melihat ke luar dapat kita lakukan di tengah kesibukan, sementara melihat ke dalam hanya bisa kita lakukan dalam keheningan, manakala kita melakukan dialog yang tak terputus dengan diri kita sendiri.
Yang menarik, karena kita hanya dapat fokus pada satu hal di satu waktu, maka ketika fokus ke luar, kita akan lupa untuk melihat ke dalam. Lantas, apa yang membuat kita sulit untuk melihat ke dalam?
Ada tiga alasan yang kuat, mengapa melihat ke dalam diri sendiri itu sulit. Pertama, karena kita sering merasa sudah benar. Kita tidak sadar bahwa kebenaran hanyalah posisi kita pada saat ini, dan sama sekali tidak ada jaminan bahwa kita tetap berada di posisi ini di masa mendatang. Kita lupa bahwa posisi kita bisa berubah seperti bandul yang berayun.
Selain itu, kita kerap menganggap diri kita berada di zona aman. Kita merasa diri kita baik dan bijak. Kita merasa mempunyai kedudukan yang menjamin kita berbuat baik seperti penegak hukum, aktivis antikorupsi, ahli agama, ilmuwan dan sebagainya. Semua posisi dan label ini menciptakan perasaan aman yang pada gilirannya menghasilkan sikap kurang hati-hati, lengah dan longgar. Tanpa disadari kita mengendurkan standar kita sendiri. Inilah yang membuat banyak penegak hukum melakukan aktivitas yang melanggar hukum, aktivis antikorupsi malah melakukan tindakan korupsi, ahli agama melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan agama yang diyakininya.
Kedua, kita lebih mudah melihat ke luar karena kita senang menyalahkan orang lain. Kita acap kali merasa bangga bila kita dapat menunjukkan kesalahan orang lain. Seolah-olah dengan menunjukkan kesalahan orang lain itu kita menjadi lebih baik dan lebih besar. Secara diam-diam dan tanpa disadari, kita masih memiliki penyakit ini dalam diri kita. Kita ingin lebih dibandingkan dengan orang lain. Kita membangun ego kita dengan cara seperti itu.
Ada sebuah cerita inspiratif mengenai tiga orang anak yang dibawa penduduk kampung ke pengadilan dengan tuduhan mencuri buah semangka. Ketiga anak itu sangat ketakutan karena berpikir akan menerima hukuman yang berat.
Ketika sampai di hadapan hakim, hakim yang dikenal sebagai orang yang sangat keras sekaligus bijaksana itu mengatakan, “Kalau di sini ada orang yang ketika masih anak-anak belum pernah mencuri buah semangka, silakan tunjuk jari.” Ternyata tak seorang pun termasuk hakim yang mengangkat jari telunjuknya. Maka, hakim pun langsung berkata, “Perkara ditolak.”
Jadi, sebelum bicara apa-apa, lihatlah diri Anda lebih dulu. Walaupun melihat diri sendiri memang amatlah sulit. Analoginya seperti melihat telinga Anda sendiri. Telinga itu berada sangat dekat dengan diri kita, tapi bisakah kita melihatnya? Tidak bisa, Anda membutuhkan alat, yakni cermin.
Ketiga, kita sulit melihat ke dalam diri karena kita sering merasa bahwa masalah berada di luar, bukan di dalam. Padahal, bukankah semua masalah yang ada di luar itu sebenarnya bersumber dari masalah yang ada di dalam, seperti halnya orang lebih suka mengarahkan telunjuknya ke luar tetapi lupa untuk bercermin. Bukankah semua kejahatan, permusuhan, dan peperangan bersumber pada sesuatu yang ada di dalam – dan bukan di luar – diri kita?
Karena merasa bahwa masalah ada di luar bukannya di dalam, maka perilaku kita seperti perilaku orang yang membaca buku psikologi dan bukan buku kesehatan. Ketika membaca buku psikologi kita akan cenderung menganalisis perilaku orang lain yang ada di sekitar kita. Kita mengatakan, “Ya, saya tahu, rekan kerja saya memang seperti ini, begitu pula dengan pasangan hidup saya.” Ini tentu saja berbeda dari perilaku ketika membaca buku kesehatan. Bayangkan kalau Anda membaca tulisan mengenai gejala diabetes atau jantung koroner. Siapakah yang akan langsung Anda pikirkan? Tentu saja, kita akan melihat ke dalam diri kita sendiri.
Seorang bijak pernah mengatakan, “Orang yang tahu mengenai alam semesta tetapi tidak tahu apa-apa mengenai dirinya berarti belum tahu apa-apa.” Karena itu tepat sekali Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang terkenal mengatakan, ”Tengoklah ke dalam sebelum bicara. Singkirkan debu yang masih melekat...” Dalam lagu yang sama ia juga berpesan, ”Bercermin dan banyaklah bercermin. Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum...”
Pada saat mata dan Panca indra kita terjaga, maka Perhatian Otak atau Jiwa kita berada pada luar diri kita, sehingga membuat Jiwa kita terperangkap pada panca indera, terkungkung oleh ke-diri-an. Berada pada Kesadaran inderawi, sehingga hanya menyadari lingkungannya hanya sebatas kesadaran yg bersifat fisik. Orang yg seperti ini lebih tertarik dan menyukai kehidupan dunia daripada akhirat.
Kembali ke reportase. Turnamen mingguan Sparta edisi minggu ke-28 diikuti oleh 16 orang Spartan plus 5 orang Spartan yang hanya mabar. Minggu ini kita kedatangan 3 orang tamu dari Bekasi, 2 ikutan turnamen dan satu orang hanya jadi penonton. Keikutsertaan Franky S dan Reza R di turnamen kali ini, turut mewarnai jalannya turnamen. Skill Franky yang termasuk diatas rata-rata Spartan, berkolaborasi permainan apik Ari A, jadilah mereka sebagai kampiun minggu ini. Sebetulnya dari awal juga sudah tertebak kalau mereka yang akan keluar sebagai juara minggu ini. Perjalanan mereka sangat mulus mulai dari babak penyisihan hingga final tanpa menderita kekalahan satu kali pun. Di babak final mereka mengalahkan pasangan Fatoni dan Rama dengan score 42-32.
Fatoni dan Rama yang awalnya bermain kurang maksimal di awal babak penyisihan, sanggup menebus kekalahan mereka dari pasangan Adi Putra dan Reza R, dengan memetik 2 kemenangan di 2 partai penyisihan berikutnya. Penentuan juara dan runner up di grup A, harus diselesaikan dengan drama penghitungan selisih poin. Fatoni dan Rama berhasil membalas kekalahan mereka dengan mendepak Adi Putra dan Reza R di babak semifinal.
Inilah nama-nama yang menjadi juara minggu ini;
Juara 1 Franky S dan Ari A
Juara 2 Fatoni dan Rama
Juara 3 Adi Putra dan Reza R / Iyan dan Andre
Dan dibawah ini adalah result dari turnamen mingguan Sparta tanggal 20 Sepetember 2020, disertai dengan update ranking dan Akumulasi perolehan medali Sparta;
![]() |
Road to final |
![]() |
Bagan turnamen |
![]() |
Akumulasi perolehan medali Sparta |
Sekian reportase kita kali ini. Semoga kita menjadi insan yang bisa introspeksi atas kesalahan-kesalahan yang telah dibuat dan mengambil hikmah dari setiap kejadian. Tetap semangat dan Salam olahraga!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar